Mungkin yang
terakhir kalinya
Namaku Fifi, aku pernah menyayangi
seorang yang aku anggap seperti kakak ku sendiri bahkan selayaknya seperti ibu
ku. Namanya Wasil, aku sering memanggilnya dengan sebutan “Mamah Wasil”. Dulu
dia selalu ada buat aku. Dulu kita dipertemukan karena ada tuntutan tugas PPL.
Hingga akhirnya aku dan dia dipisahkan dengan tagihan tugas KKN. Sekarang kita
beda kota. Sekolah ku yang sampai sekarang paling banyak menyimpan kenangan
antara aku dan dia.
Ku lihat di sekeliling sekolah, yang
biasanya kita selalu bersama dalam canda tawa, suka duka. Sekarang sepi, tiada
henti kini kesedihan yang ku alami setelah kepergianmu. Kamu pergi untuk
melanjutkan tugasmu di kota yang berbeda dengan ku. Tugas mu selesai di sekolah
ku selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Tapi… kini aku hanya bisa merasakan
saat-saat bersamamu secara singkat. Sangat singat, hingga kenangan indah yang
sempat kita ukir selama ini berubah menjadi kenangan yang usang.
Kini tak seperti biasanya, aku jalani
kehidupan di sekolah tanpa kamu. Kita hanya bisa saling sapa kabar lewat sms.
Mendo’akan mu adalah cara ku memeluk mu dari jauh. Entah, rasa apa yang kau
alami disana. Apakah sama seperti yang aku rasakan disini atau justru berbeda?
Rindu, sangat rindu akan kehadiran mu disisiku lagi. Ya Allah, pertemukanlah
aku dengan dia disisa hidup ku. Entah kapan harapan ku itu akan terwujud.
Ataukah kita akan dipertemukan dalam kematian. Lillahi ta’ala… J
Sebulan setengah aku hidup tanpa mu,
sudah terbiasa memendam rasa rindu ini. Menahan perih, sakitnya goresan luka di
hati yang terguyur air mata disaat ku mengingat semua kenangan indah kita. Aku
terlalu bodoh, Masih saja selalu mengenang mu meski itu menyakitkan. Bila aku
masih bisa memutar waktu, lebih baik aku memilih untuk tidak mengenalmu sekali
daripada mengenangmu berkali-kali. Yang dulunya indah sekarang berubah menjadi
luka. Semua harapan-harapan ku seolah pupus, aku lelah mengharapkan mu. Hati ku
tertatih menantimu untuk kembali.
Hidup ku tak terarah. Semua kebahagiaan
ku kembali padamu. Seolah-olah hidup ku ini bergantung padamu. Kamu udah aku
anggap seperti ibu ku. Karena apa? Karena hidup mu hidup ku. Aku ingin menyusul
mu di kota itu. Tunggu aku… .
Apa yang akan terjadi ?
Aku punya sahabat, namanya Mbak Astrina.
Dia udah aku anggap sebagai kakak ku sendiri. Dialah yang selalu mendengarkan
keluh kesahku. Dia juga yang tau bagaimana aku. Dia yang membuatku tenang
semenjak di tinggal oleh Mamah Wasil. Mengobati luka, rindu dan kesedihan ku. Sekarang
aku punya Mbak Astrina yang selalu menyisakan waktunya buat aku. Entah buat
main ataupun curhat. Sekarang pula tinggal menghitung hari, hari dimana Mbak
Astrina telah selesai sekolah SMA dan akan melanjutkan ke Universitas luar kota.
Semua orang yang aku sayangi berangsur-angsur meninggalkan aku. Jujur, aku
benar-benar gak sanggup apabila harus
kehilangan Mbak Astrina. Aku sangat menyayanginya. L
Mbak Astrina pula yang tau kalau aku
mau pindah sekolah dikarenakan aku ingin belajar ikhlas dan sabar dalam
menghadapi hidup ini di sebuah pesantren.
Hingga aku pergi, mencari kehidupan
lain entah kemana langkah ku akan terhenti. Dan mungkin tak akan pernah
kembali.
Pernah di suatu hari aku mendatangi
salah satu Rumah Sakit di Kota Kendal untuk mendonorkan salah satu ginjal dari
anggota tubuh ku ini. Karena aku ingin mereka yang membutuhkan ginjal ini
benar-banar bisa merasakan hidup yang sejati.
Test kecocokan ginjal pun berlangsung
di kota ini tanpa sepengetahuan orang tua ku, sahabat ku Mbak Astrina, bahkan
Mamah Wasil pun juga gak ada yang tau. Mungkin mereka sudah mengetahui rencana
ku ini dari awal, akan tetapi mereka gak ada yang tau kapan aku akan
melaksanakan hal ini.
Seminggu setelah test kecocokan ginjal
itu akhirnya keluar hasil bahwa aku dengan seseorang yang membutuhkan donor
ginjal itu sama cocoknya. Itu artinya transplantasi ginjal pun bisa segera
dilaksanakan.
Sebelum operasi ini berlangsung saya
menelepon Mbak Astrina dulu, saya bilang “Mbak, mungkin ini yang terakhir kalinya.
Maafin aku ya kalau aku banyak salah”. Ujar ku.
“Fi? Maksud kamu apa?” jawab Mbak
Astrina.
“Aku akan menjalani transplantasi
ginjal sebentar lagi di Rumah Sakit Kendal seperti apa yang pernah aku
angan-angan kan dulu mbak..” jawab ku sedikit menjelaskan. Akhirnya telepon
segera aku matikan, karena akan segera di lakukannya transplantasi ginjal
tersebut.
Tiga jam lamanya operasi transplantasi
ginjal ini berlangsung. Tubuh ku ini ternyata tidak bisa melakukan aktivitas
hanya dengan satu ginjal. Akhirnya aku sempat koma beberapa hari di Rumah Sakit
itu.
Seperti terdengar suara banyak orang di
ruangan kamar rawat ku saat ini. Entah siapa saja yang sedang berada di sini,
aku ngga tau.
Beberapa saat kemudian aku sadar dan
terbangun dari koma. Terlihat dengan remang-remang banyak orang di kamar rawat
ku. Ada keluarga, sahabat, teman, dan Mamah Wasil beserta kawan-kawannya.
Semuanya nungguin aku bangun. Aku mulai mengatakan sesuatu. Segeralah semuanya
mengelilingi tempat tidur ku. Ku pegang tangan Mamah Wasil dan Mas Dian lalu
aku bilang “Mm-ah, ce-pet ni-kah ya sa-ma Mas Dian”. Mamah Wasil dan Mas Dian
hanya tersenyum mendengarkan yang aku ucapkan tadi.
Ingin rasanya aku memeluk kedua orang
tua ku sebelum aku menghembuskan nafas terakhir. Tapi apa daya, tubuh ku
seolah-olah penuh dengan luka. Sakit dan kaku untuk di gerakkan. L
Aku cuma meninggalkan pesan “maaf
dan terima kasih” buat semuanya yang ada di kamar rawat ku saat
itu. Aku sayang sama kalian semua. Akhirnya akupun menghembuskan nafas terakhir
dalam keadaan berkumpul dengan semua orang-orang yang aku sayangi.
Kuatkan aku Ya Allah, aku hanya ingin melihat mereka semua
BAHAGIA meski TANPA AKU.
Karya :
Afifiyatul Anis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar